GRETASHA
Utiya
Himmatul Hauni
Demokrasi sudah tak lagi diberi kepercayaan oleh para
pengharap kemakmuran. Insan yang sudah menjadi wakil kami belum pernah membuat
kami merasa puas. Lantas apa sebenarnya yang kami dan mereka inginkan?
Rinai hujan basahi sekujur tubuh kami hingga jalanan tak
nampak, hanya terlihat genangan di sana. Lelah tak pernah meruak rasa senang
yang selalu kami dapatkan selepas penat yang kami terima. Bahkan air hujan ini
membuat kami bahagia.
"Berapa
ikan yang kau dapat tadi dengan ayahmu Don?" ujar Pak Toni sambil
merangkul pundakku.
"Tak
terlalu banyak juga Pak, sampailah ini buat kami makan seminggu sambil dibawa
ke pasar buat dijual" balasku dengan menunjuk korang koja yang sudah
terisi berbagai ikan.
Ini akhir pekan dari hari-hari penuh keseriusan yang
biasanya aku jalani di sekolah. Adamar, nama yang aku dan ayahku beri untuk
sampan kami. Adamar yang berarti pelita, penuh rasa keinginan yang kami
tuangkan pada sampan ini karena hanya dengan adamar kami dapat memperoleh
penghasilan. Di Adamar inilah, aku setiap akhir pekan bersama sosok paling
menginspirasi hidupku, ayah.
Angin bertiup begitu tenang hingga akhirnya kami tiba di
pesisir utara Kota Semarang ini. Lekas bergegas turun dari sampan, dan
membopong korang koja yang sudah berbobot karena dipenuhi ikan hasil tangkapan
tadi malam. Bahu-membahu kami turunkan semua korang koja dan bergegas pulang ke
rumah masing-masing, tetapi ada juga yang langsung menjual hasil tangkapan di
sana atau menitipkannya di pasar-pasar dekat situ.
Langkah kaki ini begitu ringan , obrolan antara aku dan ayah
terus mengalir begitu saja di sepanjang jalan menuju ke rumah kami. Di berbagai
tepi jalan, di sudut tempat orang nongkrong, di setiap orang lewat yang aku
jumpai sedang membicarakan hal yang sama, korupsi. Sedangkan di sampingku, ayah
masih dengan wajah yang sangat datar tak memperdulikan hal tersebut. Atau mungkin
ayah belum tahu beritanya? Tidak kuat merasa penasaran akhirnya aku angkat
bicara.
“Yah,
sebenarnya sikap kita kalau melihat orang-orang yang kita harapkan tidak dapat
mewujudkan hal yang kita inginkan tu gimana sih, Yah?” tanyaku penasaran karena
setiap melihat ayahku, beliau adalah sosok yang begitu tenang walaupun di
sekitarnya sedang kisruh.
“Don, berharap
orang lain dapat mewujudkan keinginan kita itu tidak salah si, hanya saja saat
orang yang kita harapkan tidak bisa atau belum bisa mewujudkan harapan itu kita
ga ada hak nuntut menurut Ayah. Karena kembali ke diri kita sendiri saja, kita
bisa kok wujudkan harapan itu misalnya rasa senang, bahagia, itu mudah di
dapatkan kalau kita banyak bersyukur” jawab ayah yang selalu membuatku terpana.
“Ayah
berharap aku jadi sukses ga Yah?” tanyaku sambil tertawa
“Ini
anak kenapa nanyanya memojokkan ya” jawab ayahku dengan tawa yang tidak kalah
kencang dengan tawaku, sambil merangkul ku dan menenteng korang koja ayah yang
penuh ikan.
“Orang
tua pasti punya harapan pada anaknya Don, tapi kalau anaknya belum bisa
mewujudkan harapan orang tuanya ya ga papa. Itu pilihan anak itu, misal nih
Ayah pingin kamu jadi dokter tapi passion kamu di teknik. Ayah ga ada
hak buat maksa kamu nurutin harapan Ayah. Karena toh nantinya kamu yang jalanin
proses itu” susul kata ayah yang kembali membukakan pikiranku.
Tak terasa obrolan sepanjang jalan tadi menghantarkan hingga
rumah bercat warna biru tua gradasi itu sudah terlihat, rumah yang penuh dengan
rasa hangat untukku. Apalagi, aku hanya anak tunggal yang mendapatkan perhatian
yang sangat dari kedua orang tuaku. Ada sosok tak asing terlihat tengah
menunggu kedatangan kami, Om Dipu, adik dari ayahku.
"Assalamualaikum
Bu….. Doni dan ayah dah pulang" teriakku sembari mengetuk pintu rumah.
"Waalaikumsalam,
lewat pintu belakang saja Don. Ibu baru beres-beres rumah" sahut Ibuku
dari dalam rumah.
Hendak
aku angkat korang koja ini, omku mendekat kemudian menepuk pundak ayahku.
"Mas, aku mau beli ikan yang ada 1kg saja. Istriku lagi bersih-bersih
rumah jadi tak sempat kemari"
"Oh
ada ini, bentar biar kubawa ke belakang. Sekalian kuambilkan kantong plastik
ya" jawab ayah sambil berjalan ke belakang rumah disertai anggukan Om Dipu.
"Kau
pun ikut ke laut bersama ayahmu Don, apa libur sekolahmu?"
"Iya
Om, ada rapat komite di sekolah. Yang datang hanya orang tua, tadi ibuku yang
ke sekolah"
"Oh.
Begitu rupanya"
"Om,
aku mau ke belakang dulu ya, mau mandi aku"
"Silakan,
yang bersih ya Don. Jangan sampai selesai mandi masih bau amis"
"Wkwkwk
ya Om" jawabku singkat dengan tawa yang keluar dari perbincangan omku dan
aku.
Hari yang begitu melelahkan, tapi tak pernah kami biarkan
rasa lelah ini menguasai keceriaan dalam diri ini. Namaku Doni siswa kelas 12
SMA yang akan menempuh jenjang pendidikan berikutnya, yaitu di perguruan
tinggi. Pendidikan, sebenarnya sepenting apa hingga setiap insan berlomba-lomba
memasukkan namanya ke sekolah-sekolah, ke perguruan tinggi yang diidam-idamkan
hingga tak sedikit dari mereka yang rela melalui proses tanpa dengan usaha. Keluarga
sederhana yang tidak mungkin mengeluarkan dana sebesar orang berkemampuan untuk
hanya sekedar memasukkan nama anaknya agar dapat melanjutkan pendidikan, dan anak
dari keluarga sederhana pasti hanya bisa melalui dengan usaha maksimalnya. Pada
akhirnya, anak-anak dari keluarga sederhana ini sangat mengharapkan usaha dan
doanya terwujud.
Begitu juga dengan aku, harus berusaha melanjutkan
pendidikan untuk mengubah status ekonomi keluarga sederhana ini. Tadi malam
ayah memberi banyak pertanyaan, nasihat, tak kusangka diakhiri pernyataan dari
ayah bahwa beliau mengidap penyakit yang menurut perkiraan dokter sudah tidak
lama lagi waktu ayah di dunia. Aku merasa terpukul saat itu, aku belum siap
mendengar hal tersebut. Saat itu aku menolak, aku marah dengan ayah karena
memberi tahu saat dokter sudah berkata waktu ayah hanya tinggal 3 hari di
dunia.
“Memang dokter tahu apa Yah? Dia hanya memprediksi
Yah, Ayah pasti bisa sembuh” balasku sesegukan sambil merengkuh pinggang ayahku
erat dan dibalas ayah memelukku. Sudah tak terkira lagi basah baju ayah karena
air mata yang mengucur deras dari mataku.
“Doni, memang dokter bukan Tuhan yang tahu
kapan kita akan kembali. Tapi lewat dokter, Tuhan kasih peringatan kepada kita
bahwa kondisi kita lagi sedang tidak sehat” balas ayah mengelus punggungku.
“Don, kalau ada hal yang membuatmu kecewa
atau merasa kurang puas dengan suatu hal. Jangan lupa bersyukur ya Nak. Itulah
fungsi agama hadir di sini. Saat agama hadir, saat semua orang merasa cukup,
mereka tidak akan mengambil hak yang bukan haknya. Ingat pesan Ayah ya Don” lanjut
perkataan ayah yang semakin membuatku terpukul. Karena aku belum siap menerima
hal ini. Kenapa ayah tidak cerita dari dulu, tanyaku dalam hati.
Warna
jingga kemerahan memenuhi langit di sore ini, kata orang ini dinamakan senja. Pikiranku
kosong melihat ombak yang berderu dengan suara gemercik air yang indah. Ayah
terlihat berbeda tadi pagi, dengan balutan kain warna putih dan hanya nampak
wajah dengan senyum yang biasanya ditorehkan bersamaku saat di laut. Ayah
kembali kepada-Nya tidak sama dengan prediksi dokter, ayah meninggalkan aku dan
ibu tadi pagi saat sholat shubuh berjamaah. Saat ayah menjadi imam, hendak
bangun dari sujud ayah sudah tiada. Tangis yang aku dan ibuku tahan hingga
gemetar dadaku karena tak kuasa menahan duka, kami tetap melanjutkan sholat
shubuh dengan aku sebagai imam. Sungguh singkat, dunia yang ayah jalani. Ayah
belum melihat aku sukses seperti yang kami bayangkan saat kemarin-kemarin
berlayar.
Aku
sedang berada di pesisir pantai, pantai yang biasanya aku dan ayah mencari rezeki
yang entah kami juga tidak tahu rezeki itu seberapa. Menghibur diri, walaupun
aku laki-laki, ditinggal oleh seorang yang begitu berarti pasti menimbulkan
rasa sakit yang sangat tak bisa didefinisikan. Ramainya orang simpang siur
dihadapanku, sosial media yang sedang ramai membahas korupsi lagi lagi korupsi,
tetapi ini tak mengganggu aku yang sedang menenangkan diri dan sudah mulai
mengerti kehidupan yang ayah maksud.