09/10/2020

Cerita Pendek

 GRETASHA

Utiya Himmatul Hauni

Demokrasi sudah tak lagi diberi kepercayaan oleh para pengharap kemakmuran. Insan yang sudah menjadi wakil kami belum pernah membuat kami merasa puas. Lantas apa sebenarnya yang kami dan mereka inginkan?

Rinai hujan basahi sekujur tubuh kami hingga jalanan tak nampak, hanya terlihat genangan di sana. Lelah tak pernah meruak rasa senang yang selalu kami dapatkan selepas penat yang kami terima. Bahkan air hujan ini membuat kami bahagia.

"Berapa ikan yang kau dapat tadi dengan ayahmu Don?" ujar Pak Toni sambil merangkul pundakku.

"Tak terlalu banyak juga Pak, sampailah ini buat kami makan seminggu sambil dibawa ke pasar buat dijual" balasku dengan menunjuk korang koja yang sudah terisi berbagai ikan.

Ini akhir pekan dari hari-hari penuh keseriusan yang biasanya aku jalani di sekolah. Adamar, nama yang aku dan ayahku beri untuk sampan kami. Adamar yang berarti pelita, penuh rasa keinginan yang kami tuangkan pada sampan ini karena hanya dengan adamar kami dapat memperoleh penghasilan. Di Adamar inilah, aku setiap akhir pekan bersama sosok paling menginspirasi hidupku, ayah.

Angin bertiup begitu tenang hingga akhirnya kami tiba di pesisir utara Kota Semarang ini. Lekas bergegas turun dari sampan, dan membopong korang koja yang sudah berbobot karena dipenuhi ikan hasil tangkapan tadi malam. Bahu-membahu kami turunkan semua korang koja dan bergegas pulang ke rumah masing-masing, tetapi ada juga yang langsung menjual hasil tangkapan di sana atau menitipkannya di pasar-pasar dekat situ.

Langkah kaki ini begitu ringan , obrolan antara aku dan ayah terus mengalir begitu saja di sepanjang jalan menuju ke rumah kami. Di berbagai tepi jalan, di sudut tempat orang nongkrong, di setiap orang lewat yang aku jumpai sedang membicarakan hal yang sama, korupsi. Sedangkan di sampingku, ayah masih dengan wajah yang sangat datar tak memperdulikan hal tersebut. Atau mungkin ayah belum tahu beritanya? Tidak kuat merasa penasaran akhirnya aku angkat bicara.

“Yah, sebenarnya sikap kita kalau melihat orang-orang yang kita harapkan tidak dapat mewujudkan hal yang kita inginkan tu gimana sih, Yah?” tanyaku penasaran karena setiap melihat ayahku, beliau adalah sosok yang begitu tenang walaupun di sekitarnya sedang kisruh.

“Don, berharap orang lain dapat mewujudkan keinginan kita itu tidak salah si, hanya saja saat orang yang kita harapkan tidak bisa atau belum bisa mewujudkan harapan itu kita ga ada hak nuntut menurut Ayah. Karena kembali ke diri kita sendiri saja, kita bisa kok wujudkan harapan itu misalnya rasa senang, bahagia, itu mudah di dapatkan kalau kita banyak bersyukur” jawab ayah yang selalu membuatku terpana.

“Ayah berharap aku jadi sukses ga Yah?” tanyaku sambil tertawa

“Ini anak kenapa nanyanya memojokkan ya” jawab ayahku dengan tawa yang tidak kalah kencang dengan tawaku, sambil merangkul ku dan menenteng korang koja ayah yang penuh ikan.

“Orang tua pasti punya harapan pada anaknya Don, tapi kalau anaknya belum bisa mewujudkan harapan orang tuanya ya ga papa. Itu pilihan anak itu, misal nih Ayah pingin kamu jadi dokter tapi passion kamu di teknik. Ayah ga ada hak buat maksa kamu nurutin harapan Ayah. Karena toh nantinya kamu yang jalanin proses itu” susul kata ayah yang kembali membukakan pikiranku.

Tak terasa obrolan sepanjang jalan tadi menghantarkan hingga rumah bercat warna biru tua gradasi itu sudah terlihat, rumah yang penuh dengan rasa hangat untukku. Apalagi, aku hanya anak tunggal yang mendapatkan perhatian yang sangat dari kedua orang tuaku. Ada sosok tak asing terlihat tengah menunggu kedatangan kami, Om Dipu, adik dari ayahku.

"Assalamualaikum Bu….. Doni dan ayah dah pulang" teriakku sembari mengetuk pintu rumah.

"Waalaikumsalam, lewat pintu belakang saja Don. Ibu baru beres-beres rumah" sahut Ibuku dari dalam rumah.

Hendak aku angkat korang koja ini, omku mendekat kemudian menepuk pundak ayahku. "Mas, aku mau beli ikan yang ada 1kg saja. Istriku lagi bersih-bersih rumah jadi tak sempat kemari"

"Oh ada ini, bentar biar kubawa ke belakang. Sekalian kuambilkan kantong plastik ya" jawab ayah sambil berjalan ke belakang rumah disertai anggukan Om Dipu.

"Kau pun ikut ke laut bersama ayahmu Don, apa libur sekolahmu?"

"Iya Om, ada rapat komite di sekolah. Yang datang hanya orang tua, tadi ibuku yang ke sekolah"

"Oh. Begitu rupanya"

"Om, aku mau ke belakang dulu ya, mau mandi aku"

"Silakan, yang bersih ya Don. Jangan sampai selesai mandi masih bau amis"

"Wkwkwk ya Om" jawabku singkat dengan tawa yang keluar dari perbincangan omku dan aku.

Hari yang begitu melelahkan, tapi tak pernah kami biarkan rasa lelah ini menguasai keceriaan dalam diri ini. Namaku Doni siswa kelas 12 SMA yang akan menempuh jenjang pendidikan berikutnya, yaitu di perguruan tinggi. Pendidikan, sebenarnya sepenting apa hingga setiap insan berlomba-lomba memasukkan namanya ke sekolah-sekolah, ke perguruan tinggi yang diidam-idamkan hingga tak sedikit dari mereka yang rela melalui proses tanpa dengan usaha. Keluarga sederhana yang tidak mungkin mengeluarkan dana sebesar orang berkemampuan untuk hanya sekedar memasukkan nama anaknya agar dapat melanjutkan pendidikan, dan anak dari keluarga sederhana pasti hanya bisa melalui dengan usaha maksimalnya. Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga sederhana ini sangat mengharapkan usaha dan doanya terwujud.

Begitu juga dengan aku, harus berusaha melanjutkan pendidikan untuk mengubah status ekonomi keluarga sederhana ini. Tadi malam ayah memberi banyak pertanyaan, nasihat, tak kusangka diakhiri pernyataan dari ayah bahwa beliau mengidap penyakit yang menurut perkiraan dokter sudah tidak lama lagi waktu ayah di dunia. Aku merasa terpukul saat itu, aku belum siap mendengar hal tersebut. Saat itu aku menolak, aku marah dengan ayah karena memberi tahu saat dokter sudah berkata waktu ayah hanya tinggal 3 hari di dunia.

“Memang dokter tahu apa Yah? Dia hanya memprediksi Yah, Ayah pasti bisa sembuh” balasku sesegukan sambil merengkuh pinggang ayahku erat dan dibalas ayah memelukku. Sudah tak terkira lagi basah baju ayah karena air mata yang mengucur deras dari mataku.

 

“Doni, memang dokter bukan Tuhan yang tahu kapan kita akan kembali. Tapi lewat dokter, Tuhan kasih peringatan kepada kita bahwa kondisi kita lagi sedang tidak sehat” balas ayah mengelus punggungku.

 

“Don, kalau ada hal yang membuatmu kecewa atau merasa kurang puas dengan suatu hal. Jangan lupa bersyukur ya Nak. Itulah fungsi agama hadir di sini. Saat agama hadir, saat semua orang merasa cukup, mereka tidak akan mengambil hak yang bukan haknya. Ingat pesan Ayah ya Don” lanjut perkataan ayah yang semakin membuatku terpukul. Karena aku belum siap menerima hal ini. Kenapa ayah tidak cerita dari dulu, tanyaku dalam hati.

 

Warna jingga kemerahan memenuhi langit di sore ini, kata orang ini dinamakan senja. Pikiranku kosong melihat ombak yang berderu dengan suara gemercik air yang indah. Ayah terlihat berbeda tadi pagi, dengan balutan kain warna putih dan hanya nampak wajah dengan senyum yang biasanya ditorehkan bersamaku saat di laut. Ayah kembali kepada-Nya tidak sama dengan prediksi dokter, ayah meninggalkan aku dan ibu tadi pagi saat sholat shubuh berjamaah. Saat ayah menjadi imam, hendak bangun dari sujud ayah sudah tiada. Tangis yang aku dan ibuku tahan hingga gemetar dadaku karena tak kuasa menahan duka, kami tetap melanjutkan sholat shubuh dengan aku sebagai imam. Sungguh singkat, dunia yang ayah jalani. Ayah belum melihat aku sukses seperti yang kami bayangkan saat kemarin-kemarin berlayar.

Aku sedang berada di pesisir pantai, pantai yang biasanya aku dan ayah mencari rezeki yang entah kami juga tidak tahu rezeki itu seberapa. Menghibur diri, walaupun aku laki-laki, ditinggal oleh seorang yang begitu berarti pasti menimbulkan rasa sakit yang sangat tak bisa didefinisikan. Ramainya orang simpang siur dihadapanku, sosial media yang sedang ramai membahas korupsi lagi lagi korupsi, tetapi ini tak mengganggu aku yang sedang menenangkan diri dan sudah mulai mengerti kehidupan yang ayah maksud.

 

Selanjutnya ada di majalah SMP N 3 Patebon................. hehehe

0 komentar:

Posting Komentar